MOTIVATION LETTER
Nama saya Daffa Baihaqi, dan saya adalah mahasiswa baru di Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, yang berasal dari Depok. Dan di penugasan kali ini saya akan menceritakan tentang cara saya menerima diri saya sendiri ditengah banyaknya stereotype yang ada di tengah budaya bermedia sosial.
Ada sebuah quotes favorit saya dari Chuck Palahniuk, “The only way to find true happiness is to risk being completely cut open.” Satu-satunya jalan untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya adalah berani untuk terbuka. Jika kutipan ini disambung-sambungkan dengan tema dari penugasan kali ini yaitu self-love, artinya kebahagiaan diri kita sendiri dapat ditemukan jika kita berani untuk ‘completely cut ourself open’ atau berani menjadi diri kita sendiri.
Zaman sekarang ini banyak sekali stereotype yang beredar tentang laki-laki. Masalahnya tak semua stereotype yang timbul ditengah masyarakat ini positif, ada beberapa yang sifatnya negative dan dikemas dalam prasangka dan diskriminasi. Salah satunya konsep tentang masculinity, dimana seorang laki-laki harus berani, mandiri dan selalu kuat. Belum lagi stereotype yang timbul akibat adanya konstruksi realitas dalam budaya bermedia sosial dimana laki-laki akan dianggap aneh dan narsistik jika terlalu banyak mengepost foto selfie. Lalu stereotype lain yang menganggap bahwa laki-laki itu cocoknya main game ketimbang aktif di media sosial. Akhirnya, media sosial yang awalnya menjadi tepat untuk menunjukkan eksistensi diri, menampung dan melepaskan pikiran, hiburan, dan memangun jaringan sosial, malah dapat menjadi pembatas bagi orang untuk menunjukkan eksistensi dirinya.
Lama kelamaan, sadar atau tidak sadar, hidup kita seakan-akan dikendalikan oleh perkataan orang lain dan konstruksi realitas yang ada di tengah masyarakat. Jujur, saya pun sempat mencoba untuk fit in dengan budaya saat ini yang sudah terpengaruh toxic nya stereotype negative yang ada. Mencoba selalu berbaur dengan budaya yang terbentuk agar dapat diterima masyarakat. Hal inilah yang membuat saya akhirnya tidak nyaman dan jenuh bermain media sosial karena rasanya seperti ruang gerak saya disitu dibatasi. Saya juga merasa seperti menutup-nutupi diri saya di media sosial.
Kenyataan inilah yang akhirnya membuat saya sadar bahwa budaya-budaya yang terbentuk dengan adanya stereotype negative ini yang membuat saya tidak bisa menerima diri saya sendiri. Saya selalu ingin merasa good enough untuk orang lain dengan menutupi kekurangan saya didepan orang lain. Dan pada akhirnya saya mengerti bahwa pola pikir saya selama ini salah. Nyatanya kita tidak hanya hidup dari kelebihan yang kita miliki, namun juga dari kekurangan yang ada dalam diri kita, karena kekurangan itulah yang membuat kita berbeda dari orang lain. Kalau semua orang didunia ini sempurna, maka kita akan hidup sebagai manusia anti sosial. Kekurangan ada karena kita diciptakan sebagai makhluk sosial dan kekurangan ini ada supaya kita saling menghargai dan melengkapi satu sama lain.
Maka dari itu, akhirnya secara perlahan saya berusaha masa bodoh dengan perkataan orang-orang lain dan dengan budaya hasil konstruksi realitas yang diciptakan pengguna media sosial karena hal itulah yang mengunci pikiran dan kreativitas saya untuk mengekspresikan diri. Caranya sebenarnya mudah. Cukup kurangi intensitas waktu menggunakan media sosial dan cari kesibukan lain diluar itu. Jika kita lihat, orang-orang yang sukses adalah mereka yang berani step out of the comfort zone. Tidak ada pebisnis yang dapat sukses membangun usahanya jika ia tidak berani mengambil resiko. Begitu juga dengan social media influencer, contohnya James Charles. Jika ia tidak berani mengekspresikan dirinya yang sebenarnya, mungkin sampai hari ini ia tidak akan pernah mendapat subscribers di Youtube sebanyak 16 juta orang. Intinya adalah berani melepaskan isi pikiranmu dan mengekspresikan diri adalah wujud nyata kalau kita bisa menerima diri sendiri. Dan bagi saya, jika kita bisa menerima kelebihan sekaligus kekurangan yang ada dalam diri kita, itu artinya kita sudah mencintai diri kita sendiri.